

Inti dari kegiatan filantropi berbasis religi Islami adalah penghimpunan Zakat, Infaq dan Shodaqoh guna didayagunakan sebagaimana mestinya sehingga merupakan salah satu solusi terhadap permasalahan ummat. Lazismu hadir sebagai lembaga Amil Zakat berskala Nasional guna menghimpun dan mendayagunakan dana Zakat untuk kepentingan Ummat. Keberadaan Lazismu, secara terang, dimaksudkan sebagai institusi pengelola zakat dengan manajemen modern yang dapat menghantarkan zakat menjadi bagian dari penyelesai masalah sosial masyarakat yang terus berkembang. Hal itu sejalan dengan sejarah berdirinya Muhammadiyah, yang ditopang oleh perilaku kedermawanan (filantropi) melalui lembaga pendidikan, sosial dan kesehatan yang berdiri mengiringi masa kejayaannya hingga seabad perjalanannya. Demikian diuraikan oleh Hilman Latief, Ph.D, Ketua Lazismu Pusat pada Kajian Ramadhan 1438 Hijriyah Muhammadiyah Jawa Timur di UMM Dome, sabtu malam 3 Juni 2017.
Lebih jauh Hilman menjelaskan bahwa sejarah berdirinya Lazismu (Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shodaqoh Muhammadiyah) dilatar belakangi atas dua faktor. Pertama, fakta Indonesia yang berselimut dengan kemiskinan yang masih meluas, kebodohan dan indeks pembangunan manusia yang sangat rendah. Kedua, zakat diyakini mampu bersumbangsih dalam mendorong keadilan sosial, pembangunan manusia dan mampu mengentaskan kemiskinan.
Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi zakat, infaq dan wakaf yang terbilang cukup tinggi. Namun, potensi yang ada belum dapat dikelola dan didayagunakan secara maksimal sehingga tidak memberi dampak yang signifikan bagi penyelesaian persoalan yang ada.
Lazismu didirikan oleh PP. Muhammadiyah pada tahun 2002, dan dikukuhkan oleh Menteri Agama Republik Indonesia sebagai Lembaga Amil Zakat Nasional melalui SK No. 457/21 November 2002. Selanjutnya dikukuhkan kembali sebagai LAZNAS melalui SK Menteri Agama No. 730/14 Desember 2016. Hal ini terkait dengan diberlakukannya UU Zakat No. 23 Tahun 2011.
Secara prinsip lembaga amil zakat, acuan dalam merumuskan programnya adalah 8 asnaf sebagaimana termaktub dalam QS At Taubah:60, yakni fakir, miskin, amil, muallaf, riqab (yang dimerdekakan), terjerat hutang, fi sabilillah dan ibn sabil. Selain itu, Lazismu menerjemahkan acuan primer At Taubah itu menjadi 13 isu nasional seperti dirumuskan dalam 13 Rekomendasi Muktamar Muhammadiyah. Ketiga belas isu tersebut menjadi karakter progresif dari Islam Berkemajuan yang dirumuskan oleh Muhammadiyah dalam Muktamar ke 47 di Makassar.
Hilman menjelaskan Lazismu juga merespon isu-isu internasional, yang mengacu kepada 17 tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) yaitu :
- Menghapus kemiskinan,
- Mengakhiri kelaparan,
- Kesehatan yang baik dan kesejahteraan,
- Pendidikan bermutu,
- Kesetaraan gender,
- Akses air bersih dan sanitasi, Energi bersih dan terjangkau,
- Pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi, Infrastruktur, industri dan inovasi,
- Mengurangi ketimpangan, Kota dan komunitas yang berkelanjutan,
- Konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab,
- Penanganan perubahan iklim,
- Menjaga ekosistem laut, Menjaga ekosistem darat,
- Perdamaian, keadilan dan kelembagaan yang kuat,
- Kemitraan untuk mencapai tujuan, guna merespon isu internasional, seperti persoalan krisis energi atau listrik.
Salah satu prestasi besar Lazismu yaitu pada sidang Tanwir Muhammadiyah bulan februari 2017 di Ambon, Lembaga Amil Zakat Muhammadiyah ini telah meluncurkan program Klinik Apung guna memberikan layanan kesehatan masyarakat di pulau-pulau terluar, terdepan dan tertinggal.
Ketika awal berdiri (2002) penghimpunan ZISKAQu (Zakat, Infaq, shodaqoh wakaf dan Qurban) yang diperoleh oleh Lazismu berkisar Rp. 6 Milyar kini (2016) penghimpunan Lazismu secara Nasional mencapai ratusan Milyar dalam setahun. Wakil Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini mengatakan InsyaAllah Lazismu akan tumbuh dan berkembang sebagai lembaga filantropi terbesar di Indonesia di masa mendatang. (Adit).