Punya telinga tapi tak bisa mendengar, punya mata tapi tidak bisa melihat, punya mulut tapi tak bisa berkata dan punya otak tapi tak bisa berfikir apa-apa. Tubuhnya pun lemah dan harus dipapah oleh setiap orang yang ada di sekitarnya. Itulah kondisi manusia di masa kecilnya (bayi).
Dengan kemurahan dari yang Maha Rahman, berangsur-angsur sang bayi bisa mendeng-ar, melihat, bertutur kata dan memikirkan segala yang ada di sekelilingnya. Fisiknya juga menjadi kuat dan siap belajar serta bekerja keras, untuk menggapai cita dan cinta yang menjadi dambaan hidupnya.
Seperti yang dikisahkan di dalam al-Qur’an surat an-Nahl ayat 78 : “Dan Allah mengeluar-kan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (Q.S. 16 / an-Nahl : 78).
MENGAPA AKHIRNYA BEDA?
Dalam perjalanan hidup manusia ternyata nasibnya tidak sama. Ada yang miskin dan tak punya apa-apa (dhuafa’), sehingga kerjanya minta-minta, selalu membutuhkan bantuan orang lain demi menyambung nafas kehidupannya, atau kerja keras dan kasaran, dengan penghasilan tidak mencukupi atau maksimal pas-pasan untuk sekedar bisa makan.
Di sisi lain ada yang kaya dan punya segalanya (aghniya’), lantaran emas dan uang dolar, rumah megah, kendaraan mewah, perusahaan, perho-telan, mall serta fasilitas lain dimiliki semuanya, sehingga ingin apa saja dapat terpenuhi dalam sekejap mata.
Pak Khosirin misalnya, seorang miskin yang bekerja sebagai pemulung di salah satu sudut kota Surabaya. Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya yang terdiri dari seorang istri dan 5 orang anak, dia harus keluar rumah sejak dini hari, sebelum manjing subuh. Sebab jika kesiangan sedikit saja, dia tidak akan mendapat barang rongsokan, karena sudah kedahuluan pemulung lain. Kemudian baru pulang jam 16.00 sore dengan membawa uang 20 s/d 25 ribu rupiah, setelah barang rongsokan yang dipungutnya dari bak sampah warga kota dijual ke bos pengepul. Jangankan untuk biaya pendi-dikan dan kesehatan 5 buah hatinya, bisa makan sederhana tiap hari saja amatlah susah.
Pada sisi lain ada Bos Slamet Santoso, seorang pengusaha sukses asal Jakarta. Puluhan apartemen, hotel, pabrik, mall, pompa bensin, bus angkutan, taxi dan kapal penyeberangan, dimiliki semuanya. Omset penghasilan setiap harinya mencapai milyaran rupiah. Sementara dia hanya punya 2 orang anak dan seorang istri. Sebesar apapun kebu-tuhan hidup keluarganya, tidak akan menghabiskan seperempat hasil usaha yang diperolehnya, sehingga saldo plus kekayaannya terus melimpah ruah.
Baginya hidup ini laksana surga, karena apa saja yang diingingkan dapat terpenuhi dalam waktu seketika. Semua orang sangat kagum dan hormat padanya, bahkan pejabat tinggi tidak berdaya dibuatnya. Maklum saja karena dari Sabang sampai Merauke berderet harta melimpah miliknya.
ALLAH ITU MAHA ADIL DAN PROPORSIONAL
Adanya kaya dan miskin dalam kehidupan ini memamang merupakan sunnatullah. Namun Dia tidak menakdirkan bahwa keluarga A dan keturunannya pasti kaya, sementara keluarga B dan anak cucunya pasti miskin. Keduanya berjalan sesuai dengan hukum sebab akibat (sunnatullah).
Siapa saja yang berilmu dan beramal tepat serta mau berusaha giat untuk menggapai kesejahteraan dunia, apakah dia mukmin atau kafir, niscaya Allah akan melimpahkan kesejahteraan hidup baginya.
Sebaliknya, siapa saja yang bodoh, tidak punya ketrampilan dan malas dalam hidupnya, maka kemiskin-an dan kelemahan yang di-bawanya sejak kelahiran, akan tetap abadi dan tidak ditingkatkan sedikit pun oleh Allah yang maha Adil.
Bisa saja ia kaya karena wariasan dari orang tua-nya, namun jika dia tidak mau meningkatkan atau mem-pertahankan pola yang diwariskan orang tuanya tadi, seluruh hartanya akan bangrut dalam hitungan hari.
Sebaliknya, boleh saja dia berasal dari keluarga miskin, namun jika mau belajar dari kehidupan orang-orang sukses, mau meniru kiat-kiat usahanya dengan penuh keuletan dan tawakkal, tidak mustahil dia akan menjadi jutawan dalam hitungan bulan.
Maka tepatlah FirmanNya dalam QS. Ar-Ra’du : 11 di atas, bahwa “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sehingga mereka merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.”
Mari kita yang masih tergolong kelompok lemah (dhuafa’) segera berhijrah menuju kelompok yang kuat (aghniya’), berdasarkan ilmu, talenta dan semangat kita. Karena hal itu lebih baik dan lebih dicintai Allah swt. Sebagaimana sabda Nabi saw. : “Orang mukmin yang kuat (kaya) itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang mukmin yang lemah (miskin)” (Hadits Riwayat Muslim dan Ibnu Majah).
BERTRANSFORMASI DARI MUSTAHIQ KE MUZAKKI.
Mustahiq adalah orang yang berhak menerima dana zakat guna memenuhi kebutuhan hidup dan pengembangan dirinya. Mustahiq umumnya adalah orang-orang yang dhuafa, baik itu kategori fakir, miskin, riqab atau lainnya. Mereka layak mendapatkan dana zakat untuk kelangsungan hidupnya, baik konsumtif dan produktif. Alangkah baiknya jika mereka yang berkategori dhuafa diarahkan menuju upaya yang bersifat produktif sehingga ia bisa merubah nasib hidupnya menjadi lebih baik, berdaya dan meningkat taraf kesejahteraannya.
Jika sudah beranjak dari keluar dari dhuafa me-nuju ke aghniya, maka perbanyaklah INFAQ dan ZAKAT untuk menolong sesama, insya Allah harta kita menjadi berkah dan berlipat ganda (simak janji Allah dalam Al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 261 dan ar-Rum ayat 39). Dengan berinfaq dan berzakat maka berarti telah terjadi transformasi dari mustahiq, orang yang menerima zakat, menjadi seorang muzakki, atau yang wajib berzakat. Itulah perubahan hidup menjadi yang lebih baik.
Berzakat atau berinfaq adalah cerminan pribadi Muslim yang berdaya dan bertaqwa, sehingga mampu memposisikan dirinya menjadi seorang Muzakki. Marilah kita bertransformasi, merubah posisi dan formasi diri, dari penerima menjadi pemberi. Dari peminta menjadi pengasih dan dari yang lemah menjadi yang kuat. Bukan-kah ‘tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah’ dan Allah SWT menyukai ummat Islam yang kuat dan berdaya. Mari Bertransformasi !
(ust.Syamsun Aly, MA).